Sedekah, Pembuka Pintu Rezeki
Setelah sekian lama menabung, mengumpulkan lembar demi lembar rupiah dari
hasil berjualan, terkumpullah dalam tabungan Pak Ahmad sejumlah uang yang cukup
untuk membayar ongkos naik haji (BPIH). Impian sejak muda untuk menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci sebentar lagi akan terwujud. Doa-doa yang senantiasa
terucap selepas shalat tidak lama lagi akan menjadi kenyataan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus bekerja
ekstra keras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya
keinginan Pak Ahmad untuk menyempurnakan bangunan keislamannya, menjadikan dia
mampu berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Namun demikian, sebenarnya ada sedikit rasa “tidak enak” dalam hati Pak
Ahmad. Uang yang dikumpulkannya itu hanya cukup untuk melunasi BPIH untuk
dirinya sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, uang itu dapat terkumpul
sebagian karena bantuan istrinya juga. “Tidak apalah, mudah-mudahan Allah
memberikan rezeki sehingga istrinya bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun
berikutnya,” begitu pikiran Pak Ahmad.
Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang tetangganya datang ke rumah
untuk meminjam sejumlah uang untuk membayar biaya rumah sakit. Tetangga Pak
Ahmad ini terbilang orang susah. Untuk makan sehari-hari saja dia kelimpungan.
Kesulitannya semakin bertambah ketika suaminya terkena sakit parah dan mau
tidak mau, untuk menyelamatkan nyawanya, dia harus masuk rumah sakit. Itu pun
di kelas III yang hampir semua penghuninya kaum dhuafa. Setelah berusaha ke
sana kemari meminjam uang dan hasilnya nihil, ibu ini memberanikan diri datang
ke rumah Pak Ahmad untuk meminjam uang.
Pak Ahmad pun dihadapkan pada pilihan sulit: meminjamkan uang dan
cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan; tidak meminjamkan uang
dan membuat penderitaan tetangganya bertambah panjang. Setelah berdiskusi
dengan istrinya, Pak Ahmad memilih jalan ketiga. Dia tidak meminjamkan uang dan
tidak pula menahannya, akan tetapi memberikan seluruh uang hajinya untuk
membayar biaya rumah sakit tetangganya. Sebuah pilihan yang sangat berat,
berani, dan tidak masuk akal dalam pandangan kaum materialis. Bayangkan saja,
bertahun-tahun menabung, peras keringat banting tulang mengumpulkan uang, dan
ketika uang sudah terkumpul dia memberikannya begitu saja kepada orang lain.
Namun, amal kebaikan seringkali tidak bisa diukur dengan logika kebanyakan
orang. Sebagaimana tidak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih
anaknya atau ”keanehan” sikap para sahabat yang rela meninggalkan tanah
kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke Madinah,
walau harus melalui perjalanan yang sangat berat. Itulah buah keimanan yang
teramat tinggi nilainya dan sulit dicerna oleh orang-orang yang matanya sudah
silau dengan dunia.
Pak Ahmad dan istrinya sangat yakin, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan
amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah berjanji
bahwa siapa saja yang meringankan beban saudaranya di dunia akan Allah
ringankan bebannya di akhirat? Kemampuan memilih prioritas amal disertai
keyakinan yang mantap terhadap janji Allah telah menguatkan hati Pak Ahmad
untuk memberikan hartanya yang paling berharga.
Disertai derai air mata sedih campur bahagia, tetangga Pak Ahmad menerima
uang itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman sekarang masih ada
orang yang berhati mulia seperti Pak Ahmad dan istrinya. Dia tidak mampu
berkata apa-apa, selain ucapan terima kasih dan doa semoga Allah mengganti uang
tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.
Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang menangani operasi Pak Fulan, tetangga
Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien seperti Pak Fulan bisa membayar biaya
operasi yang termasuk mahal, bahkan sangat mahal bagi sebagian orang. Padahal,
dokter itu sudah bisa menebak latar belakang Pak Fulan. Iseng-iseng dia
bertanya dari mana Pak Fulan mendapatkan uang, apakah dia menjual warisan,
menjual rumah, meminjam, atau apa?
“Sama sekali bukan, Dok! Kami ini orang miskin, tidak punya apa-apa.
Jangankan membayar biaya rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan sehari-hari
pun harus gali lobang tutup lobang,” jawab Pak Fulan.
“Lho, kalau begitu dari mana?”
“Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan biaya operasi kami.”
Dokter itu makin penasaran, “Wah, hebat benar orang itu. Pastilah dia orang
kaya yang sangat dermawan.”
”Oh … tidak, Dok! Dia orang biasa-biasa.” Pak Fulan kemudian menceritakan
kisah Pak Ahmad yang rela menunda ibadah haji demi meringankan beban
penderitaan dirinya yang hanya sekadar tetangga.
Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu langsung meminta izin untuk diperkenalkan
kepada Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh tentang siapa Pak Ahmad itu
sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.
Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, “Saya ingin belajar
ikhlas seperti yang Ibu dan Bapak lakukan. Tapi bukan di sini. Saya ingin
belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak serta Ibu dan
Bapak pergi ke sana tahun ini …!”
Mata Pak Ahmad tampak berkaca-kaca. Sejenak dia tidak bisa berkata-apa. Dia
seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Pada penghujung
kejadian itu, hanya ucapan
hamdallah saja yang terucap dari bibirnya.
Begitulah, sebelum membalas kebaikan di akhirat, Allah Swt. telah memberikan
DP-nya terlebih dahulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk berhaji dengan
istrinya akhirnya terlaksana lebih cepat dalam keadaan yang penuh kebahagiaan.
Ada kisah lain yang tidak kalah mengharukan. Kisah ini saya dengar dari
Ustaz Yusuf Mansur saat beliau mengisi sebuah acara pengajian di TVRI. Alkisah,
ada seorang laki-laki—sebut saja namanya Pak Agus—yang tengah mendapat cobaan
dari Allah Swt. Dia diberhentikan dari tempatnya bekerja alias terkena PHK.
Padahal, pekerjaannya itu adalah satu-satunya sumber penghasilan Pak Agus untuk
menghidupi diri dan keluarganya. Jelas, PHK menjadi pukulan telak yang menohok
tepat ke ulu hatinya. Masalahnya ternyata tidak hanya sampai di situ. Menurut
kabar dari bidan, tidak lebih dari seminggu lagi istrinya yang tengah hamil tua
akan melahirkan.
“Wah gimana neh, istri mau melahirkan pas kena PHK. Belum sempat kasbon!”
Mungkin demikian yang kita katakan jika kita yang mendapatkan musibah semacam
ini, plus omelan atas nasib. Namun, tidak demikian dengan Pak Agus. Karena dia
orang saleh, ketika mendengar bahwa istrinya akan melahirkan kurang dari
seminggu, dia langsung mengambil wudu dan bersimpuh di hadapan Allah Swt.
sembari berdoa, “Ya Allah, terima kasih Engkau telah menakdirkan saya kena PHK
sehingga saya dapat pesangon dua juta rupiah. Mudah-mudahan Engkau mudahkan
proses kelahiran
anak kami … jangan sampai kena operasi sesar, ya
Allah!”
Singkat cerita, proses persalinan istrinya segera datang. Pak Agus membawa
istrinya itu kepada seorang bidan. Setelah didiagnosis dan dilakukan tindakan
pertolongan pertama, Ibu Bidan menyimpulkan bahwa istri Pak Agus harus disesar
karena ada gangguan pada si jabang bayi yang tengah dikandungnya. Karena tidak
sanggup menangani proses persalinan, dia pun dirujuk ke sebuah rumah sakit
besar yang ada di Jakarta.
Selama di dalam bajaj, Pak Agus berhitung bahwa kalau sesar, apalagi di
rumah sakit besar, tidak akan cukup uang dua sampai tiga juta. Dalam
hitungannya, minimal dia harus pegang enam sampai tujuh juta. Padahal, uang
hasil pesangon yang ada di dompetnya tinggal 1,6 juta rupiah. Akan tetapi, demi
keselamatan
anak dan istrinya, Pak Agus tetap nekat membawa
sang istri ke rumah sakit.
Di rumah sakit, persoalan yang muncul bukan lagi persoalan uang, melainkan
persoalan nyawa anaknya. Mengapa? Dokter yang menangani istri Pak Agus
mengatakan, ”Menurut hasil pemeriksaan, mudah-mudahan Bapak bisa bersabar,
anak Bapak ini akan lahir dengan menderita bocor
jantung bawaan, gagal jantung bawaan, dan tumor otak.” Maksudnya, si
anak akan lahir dengan membawa satu paket
musibah yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Orang tua mana yang tidak hancur hatinya mendengar
anak yang telah sembilan bulan ditunggunya akan
lahir dengan cacat jantung akut dan otak yang ada tumornya. Jika saja yang kena
musibah ini tidak punya iman, sudah tentu dia akan stres berat bahkan mati
berdiri, terlebih ketika mendengar dokter itu berkata lagi, ”Kalaupun lahir,
anak Bapak paling-paling hanya bisa bertahan 18
hari saja. Menurut medis, tidak akan lebih dari jangka waktu itu.”
Pak Agus membuang jauh-jauh prasangka buruk kepada Allah dan sikap putus
asa. Dia berusaha menerima hal itu dengan kesabaran walau dadanya serasa sesak.
Setelah mendengar berita buruk tersebut, dia langsung mendekati sang istri untuk
menguatkan dirinya. Dia berusaha meyakinkan sang istri bahwa dengan kuasa-Nya,
Allah Swt. telah menakdirkan dirinya hamil, padahal ada banyak wanita yang
sangat mengharapkan dirinya bisa hamil. Dia pun meyakinkan istrinya untuk
menjadi manusia yang bersyukur dengan tetap mengusahakan anaknya lahir, apa pun
kondisinya.
Setelah semuanya siap, operasi sesar pun dilakukan. Alhamdulillah, proses
persalinan istri Pak Agus bisa dilakukan dengan lancar dan selamat. Sesuai
dengan prediksi dokter, sang jabang bayi lahir dengan berat 2kg. Tiga hari
kemudian, berat badannya menyusut menjadi 1,6kg. Jika tiga hari saja berat
badannya sudah menyusut 0,4kg, berapa kilogram berat badan si
anak akan susut dalam waktu 18 hari? Tampaknya,
mustahil bagi si
anak untuk bisa bertahan hidup tiga minggu
lamanya.
Walaupun kemungkinan sembuh sudah setipis rambut, akan tetapi Pak Agus
sangat meyakini kekuasaan Allah Swt. Bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin.
Karena itu, dalam shalat-shalat malamnya, Pak Agus senantiasa berdoa, ”Ya
Allah, Engkau telah menakdirkan istri saya hamil dan Engkau telah menakdirkan
pula
anak saya lahir dengan selamat, maka berilah
kesembuhan kepadanya.”
Dalam tiga hari tersebut, uang Pak Agus tinggal 1,4 juta rupiah lagi. Karena
merasa uang sejumlah itu tidak akan cukup untuk membayar biaya persalinan dan
perawatan rumah sakit, Pak Agus ”nekat” membagikan uang tersebut kepada fakir
miskin yang ditemuinya.
Keteguhan, kesabaran, dan keyakinan pasangan suami istri ini telah
melahirkan keajaiban. Si
anak, yang sebelumnya divonis tidak akan
bertahan lebih dari 18 hari, ternyata mampu hidup hingga 20 hari lamanya dan
dengan kondisi kesehatan yang terus membaik. Dokter pun sempat terheran-heran
dengan apa yang dilihatnya. Dia pun mengelurakan
statement baru bahwa
kalau kondisinya terus membaik seperti itu, dalam waktu seminggu lagi si
anak sudah bisa dibawa pulang. ”Paling nanti
kalau sudah di rumah dilakukan rawat jalan saja. Saya melihat
anak Bapak ini seorang
fighter
(pejuang) yang pantang menyerah,” kata dokter itu kepada Pak Agus.
Setelah 27 hari dirawat di rumah sakit, dokter menyatakan kalau si
anak sudah benar-benar sehat. ”Alhamdulillah,
anak Bapak besok sudah bisa dibawa pulang.
Sekarang, Bapak tinggal mengurus administrasinya. Mudah-mudahan
anak Bapak bisa panjang umur,” katanya.
Saat mendengar kata-kata itu, Pak Agus langsung tersentak. Selama hampir
empat minggu itu, dia lupa mencari uang karena terlalu disibukkan mengurus
istri dan anaknya. Dia langsung berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan
uang untuk membayar biaya pengobatan dari rumah sakit yang jumlahnya membuat
kepala pening. Angka tagihan yang diterima Pak Agus adalah 27 juta rupiah,
sebuah angka yang fantastis untuk orang seukuran dirinya.
Langkah pertama yang ditempuh Pak Agus adalah mendatangi salah seorang kawan
dekatnya di bilangan Ciledug untuk meminjam uang. Namun, jumlah pinjaman yang
berhasil didapatkan masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan, yaitu hanya dua
juta rupiah. Jelas, uang dua juta jauh dari cukup untuk melunasi tagihan rumah
sakit yang selangit. Akhirnya, Pak Agus berjalan kaki dari Ciledug menuju
Salemba. Sepanjang jalur yang dilewati, dia membagikan uang yang dua juta itu
kepada orang-orang miskin yang ditemuinya. Sesampainya di rumah sakit sekitar
jam dua sore, uang yang dua juta itu sudah ludes. Pak Agus pun langsung menuju
mushala rumah sakit. Dia bersujud dan bersimpuh di hapan Allah. Sambil
menangis, dia memohon kepada Allah, ”Ya Allah, seandainya sampai Ashar ini kami
tidak berhasil mendapatkan uang yang 27 juta itu, kirimkanlah kepada kami orang
kaya yang bisa membeli
anak kami.”
Pada saat itu, ada seorang ibu yang dengan serius memperhatikan Pak Agus.
Lalu, si ibu berjalan mendekat.
”Kenapa, Pak, menangis?” tanyanya.
”Iya Bu, hari ini
anak saya akan keluar dari rumah sakit,” jawab
Pak Agus.
”Keluar dari rumah sakit kok nangis, harusnya kan bahagia,” sambung si ibu.
”Justru itu, uang untuk menebusnya tidak ada,” jawab Pak Agus.
”Oh begitu … ya udah berarti Bapak adalah orang yang sedang saya cari. Dari
pagi saya bawa uang ini … buat siapa
neh di rumah sakit ini, tapi
nggak ketemu-temu. Eh, ternyata buat Bapak,” ujar si ibu sambil
memberikan sebuah kantong keresek merah yang tampak begitu berat.
Saat itu Pak Agus langsung sujud syukur dan menangis terisak-isak karena
bahagia. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih kepada Allah yang telah
mengirimkan seseorang yang mau membantunya. Dia sendiri lupa dengan si ibu yang
memberi uang,
saking surprise-nya. Ketika bangun dari sujud, dia baru
ingat kalau dia belum sempat mengucapkan terima kasih kepada si ibu. Pada saat
yang bersamaan, si ibu itu sudah tidak ada lagi di sampingnya. Pak Agus
clingak-clinguk
mencari-cari ke mana si ibu pergi. Dia langsung berlari ke tempat parkir dengan
meninggalkan kantong merah itu di mushala. Setelah mencari-cari, orang dermawan
itu tidak berhasil ditemukannya. Pak Agus pun kembali ke mushala. Syukur,
kantong plastik merah itu masih tetap berada di tempatnya.
Setelah itu, Pak Agus langsung menuju ruangan administrasi dengan niat
melunasi biaya perawatan
anak dan istrinya tanpa berani membuka kantong
itu.
“Mbak, saya mau ambil
anak saya hari ini,” kata Pak Agus.
Petugas administrasi itu mengatakan bahwa Pak Agus belum bisa membawa
anaknya hari itu karena harus menunggu dokter yang merawatnya.
“Ya sudah, kalau begitu saya mau bayar dulu biaya perawatannya,” sambung Pak
Agus.
“Kalau bayar sekarang, Bapak tidak kena
charge,” jawab petugas itu.
“Mbak, saya punya uang segini-gininya. Silakan dihitung. Mudah-mudahan
cukup,” kata Pak Agus sambil memberikan kantong merah itu kepada si petugas.
Setelah dibuka, ternyata kantong merah itu isinya benar-benar uang. Setelah
dihitung, jumlahnya persis 27 juta rupiah.
Subhanallah.
Memancing Rezeki dengan Sedekah
Kisah Pak Ahmad dan Pak Agus tadi memberi gambaran kepada kita bahwa
sedekah akan mampu memancing rezeki yang lebih besar, lebih
berkah, dan lebih berdaya guna. Yang diperlukan di sini adalah seberapa kuat
keyakinan kita kepada janji Allah Swt. Semakin kuat keyakinan seorang hamba
akan janji Allah, semakin besar pula kepercayaan yang akan Allah Swt. berikan
kepada hamba tersebut.
Oleh karena itu, di dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda sebagai
berikut.
“Hendaklah kalian mencari rezeki dengan bersedekah.”
Jika dibaca sekilas, redaksi hadits ini sangat membingungkan. Bagaimana
mungkin
sedekah akan menambah rezeki? Bukankah dengan bersedekah kita
mengeluarkan uang yang kita miliki dan bukan mendapatkan uang? Asalnya seratus
ribu kemudian disedekahkan lima puluh ribu sehingga uang kita hilang
setengahnya? Bagaimana ini?
Memang, kalau kita mengunakan logika matematika, jumlahnya pasti berkurang.
Akan tetapi,
sedekah tidak bisa didekati seluruhnya dengan
logika matematika atau logika kaum sekuler. Ada logika iman di sana yang menyatakan
bahwa Allah Swt. akan melipatgandakan nilai
sedekah seorang hamba hingga berkali lipat jumlahnya. Boleh
jadi, ketika kita memberi, uang yang ada di dompet kita berkurang sejumlah
nominal yang diberikan. Akan tetapi, pada saat memberi itu kita langsung
mendapat balasan dari Allah berupa ketenangan jiwa, kebahagiaan, kelapangan,
dan keberkahan. Tidak lama kemudian, harta yang kita sedekahkan tersebut akan
mengundang teman-temannya untuk “mendatangi” kita, bisa dalam bentuk harta yang
sama, yaitu uang; bisa dalam bentuk kesembuhan dari penyakit, yang apabila
dikonversikan dalam bentuk uang akan berlipat-lipat jumlahnya; bisa dalam
bentuk diselamatkannya kita dari kecelakaan dan bencana; bisa dalam bentuk
jodoh;
anak yang dinantikan kehadirannya; pekerjaan
yang cocok dengan selera dan kemampuan kita; ilmu pengetahuan yang kita
dapatkan; kenalan baru yang akan membawa keberuntungan dunia akhirat; kemudahan
saat sakaratul maut; dan puncaknya terselamatkannya kita dari siksa neraka di
akhirat kelak. Jadi, uang 50 ribu rupiah yang kita sedekahkan akan beranak
pinak menjadi berlipat-lipat jumlahnya.
Sangat mudah bagi Allah untuk melakukan apa-apa yang tidak terpikirkan oleh
manusia. Semua ini terjadi karena Allah Swt. telah mengatur urusan rezeki dari
semua makhluk-Nya, sekecil apa pun. Allah Swt. tidak akan salah dalam
membagikan dan mendistribusikan rezeki hingga makhluk yang terkecil, termasuk
kepada manusia yang ada di pelosok dunia. Allah Swt. Berfirman sebagai berikut.
“
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya dijamin Allah rezekinya.” (QS Hud, 11: 6)
Ketika Allah Swt. memberikan kita rezeki, akan sangat pantas apabila kita
mensyukuri nikmat yang telah Dia anugerahkan tersebut. Salah satu bentuk rasa
terima kasih tersebut adalah berbagi dengan saudara-saudara kita yang sedang
kesusahan dan sedang membutuhkan pertolongan. Nah, ketika kita mau bersyukur
atas nikmat yang telah Allah Swt. berikan dengan cara berbagi, Dia pun akan
berkenan menitipkan rezeki yang lebih banyak dan lebih berkah kepada kita.
Bukankah Allah Swt. telah berjanji untuk mengganti setiap harta yang
dinafkahkan di jalan-Nya dengan sesuatu yang lebih baik
[1]?
Artinya, dengan bersedekah, kita tambah dipercaya oleh Allah Swt. Semakin
banyak dan sering kita bersedekah, akan semakin bertambah pula kepercayaan
Allah Swt. kepada kita. Kepercayaan mana lagi yang lebih besar selain dipercaya
oleh Zat Yang Mahabesar, Yang Mahakaya, dan Yang Mahakuasa?
Sesungguhnya, rezeki itu ada pintunya. Pintu itu tidak akan terbuka kecuali
dengan bersedekah. Semakin sering bersedekah, semakin sering pula pintu itu
terbuka. Semakin besar bersedekah, semakin lebar pula pintu itu akan terbuka.
Inilah mekanisme atau cara Allah dalam membalas kebaikan hamba-hamba-Nya.
Sejarawan Arab terkenal, Al Waqidi, pernah bercerita tentang pengalamannya
yang sangat mengesakan.
“Aku punya dua orang sahabat. Salah seorang dari mereka berasal dari
keluarga Bani Hasyim. Persahabatan yang erat membuat kami seolah-olah seperti
tidak terpisahkan. Suatu hari, istriku berkata kepadaku, ‘Lebaran semakin
dekat, sementara kita tidak memiliki apa-apa. Engkau dan aku mungkin bisa
mengatasi kesulitan ini, tetapi hatiku sedih jika memikirkan kebutuhan anak-anak
kita. Mereka melihat anak-anak tetangga mengenakan pakaian paling bagus saat
hari raya, sedangkan anak-anak kita mengenakan pakaian compang-camping.
Pikirkanlah jalan keluar dari kesulitan ini!’
“Akupun menulis surat kepada sahabat dari keluarga Hasyim dan meminta
bantuannya atas kesulitan hidup yang aku alami. Alhamdulillah, dia mengirimiku
sebuah pundi tertutup yang katanya berisi seribu dirham. Saat itu, aku merasa
lega karena bisa keluar dari permasalahan walau untuk sementara. Tiba-tiba, sepucuk
surat dari sahabat yang kedua datang kepadaku. Dalam suratnya itu, dia
mengutarakan kesulitan yang sama denganku. Aku pun mengirimkan pundi-pundi yang
kuterima dari sahabat pertamaku itu kepada sahabat keduaku dalam keadaan tetap
tertutup rapat.
“Setelah itu, aku beritikaf di masjid dan menghabiskan malam di sana karena
aku malu menemui istriku. Esok harinya, aku pulang ke rumah dan mengatakan yang
sejujurnya kepada istriku apa yang telah aku lakukan. Alhamdulillah, dia
mendukung apa yang aku lakukan.
“Saat kami sedang bercakap-cakap, tiba-tiba datang sahabatku dari keluarga
Hasyim dengan membawa pundi-pundi yang tertutup seperti semula dan memintaku
untuk menceritakan kepadanya apa yang aku lakukan dengan pundi-pundi yang telah
dia kirimkan kepadaku. Kemudian dia berkata, ‘Ketika engkau mengirimkan surat
kepadaku, satu-satunya harta milikku di dunia ini adalah uang yang aku kirimkan
kepadamu. Oleh karena itu, aku mengirimkan surat kepada sahabat kita untuk
meminta bantuannya. Lalu, dia mengirimiku pundi-pundi milikku ini dengan segel
tetap terjaga’.
“Akhirnya, isi pundi-pundi uang itu dibagi rata di antara kami bertiga
sehingga bisa memenuhi kebutuhan untuk lebaran. Peristiwa unik dan mengharukan
ini terdengar oleh Khalifah Al Makmun sehingga dia mengirimkan tujuh ratus
dinar. Dua ratusnya untuk masing-masing dari kami bertiga dan yang seratus
dinar lagi untuk istriku.” r
“Satu dirham yang disedekahkan
ketika sehat dan bakhil lebih baik
daripada seratus dirham yang
diwasiatkan ketika akan mati.”